webplus.id Pada dasarnya, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengacu pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menyatakan: “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Makna dari ketentuan tersebut adalah asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan kontrak tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak pihak boleh menentukan hal-hal yang hendak disepakati di antara para pihak, dengan pembatasan terhadap ketentuan publik yang berlaku.
Misalnya, para pihak tidak dapat membuat kesepakatan bahwa dalam perjanjian kerja sama tersebut, para pihak tidak memberlakukan perhitungan pajak terhadap bagi hasil yang diterimanya.
Baca juga: Pelajari 6 Penyebab Bisnis Sepi Pembeli, Berikut Solusinya
Hal ini tidak diperbolehkan karena hukum perpajakan merupakan ketentuan publik yang tidak dapat dikesampingkan.
Di samping itu, dalam membuat sebuah perjanjian, harus tetap tunduk pada syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan hal tertentu;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Pengertian mudharabah dalam konsep pembiayaan Mudharabah pada Lembaga Keuangan Syari’ah dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 07/DSN-MUI/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) (“Fatwa MUI 07/2000”), yakni pembiayaan yang disalurkan Lembaga Keuangan Syariah (“LKS”) kepada pihak lain untuk usaha yang produktif, LKS bertindak sebagai Shaahibul Maal (pemberi dana) dan Pengusaha sebagai Mudharib (Pengelola Usaha).
Pengertian Mudharabah yang dikutip dari buku Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dengan judul Akad Syariah, yaitu:
“pengertian Mudharabah secara umum adalah kerja sama antara pemilik dana atau penanaman modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkah nisbah (keuntungan).”
Baca juga: Aplikasi Akuntansi : MYOB
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mudharabah adalah perjanjian kerja sama untuk melakukan suatu usaha diantara pemilik modal dengan seseorang yang memiliki keahlian untuk mengelola usaha yang tidak memiliki modal, dan pembagian keuntungannya dibagi dengan perhitungan bagi hasil yang ditentukan para pihaknya (nisbah).
Adapun terkait perjanjian bagi hasil (Mudharabah) dalam hukum Indonesia, pengaturan tersebut hanya tercantum pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”).
Mudharabah dalam UU 10/1998 hanya menjadi bagian dari prinsip syariah yang diterapkan pada pembiayaan.
Prinsip syariah itu sendiri berdasarkan UU 10/1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
Secara khusus pengaturan tentang perjanjian bagi hasil adalah hukum Islam, namun untuk melihat gambaran mengenai ketentuan Mudharabah dapat juga dilihat pada Fatwa MUI 07/2000, yang secara khusus harus diperhatikan, prinsip mudharabah sebenarnya merupakan profit-loss sharing bukan hanya sekedar profit sharing.
Artinya, risiko kerugian juga tetap ada bagi pemodal. Namun, hanya sebesar modal yang ditanamkannya, sedangkan pengelola usaha akan bertanggung jawab terhadap usaha tersebut sepenuhnya.
Baca juga: Rempah-Rempah: Menjelajahi Jenis-Jenis Jahe di Dapur Anda